Jakarta 19/7/2009 (KATAKAMI) Ada yang menarik saat ini untuk dicermati pasca peledakan bom Mega Kuningan menjelang akhir pekan lalu. Apakah itu ? Yang menarik adalah komposisi Tim Anti Teror POLRI — dalam hal ini Detasemen Khusus (Densus 88) Anti Teror POLRI sudah bersih dan bebas sepenuhnya dari pengaruh atau kendali langsung dari kelompok eksklusif binaan Komisaris Jenderal Gories Mere. Harus jujur diakui bahwa kesalahan terbesar dari MABES POLRI adalah membiarkan Komisaris Jenderal Gories Mere menguasai sendiri penanganan aksi terorisme sejak bom malam natal tahun 1999 sampai periode penangkapan Abu Dujana selaku Panglima Sayap Militer Al Jamaah Al Islamyah bulan Juni-Juli 2007.
Mari kita hitung bersama-sama, sudah berapa lama ketertutupan penanganan aksi terorisme itu hanya dikuasai sepihak oleh segelintir oknum polisi yang patut dapat diduga sangat penuh semangat eksklusif yang kebablasan dan ego sektoral yang menyesatkan.
Jangankan kepada pihak eksternal semacam Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Intelijen Negara (BIN), kelompok eksklusif yang patut dapat diduga menggelorakan ego sektoral menyesatkan tadi, juga sangat tidak koordinatif dan cenderung larut dalam kepongahan mereka terhadap rekan sekerja di lingkungan Mabes POLRI sendiri.
Sejak penanganan bom malam Natal 1999, POLRI membentuk Tim Satgas Bom. Tim inilah yang bergerak “under ground” atau dibawah tanah.
Namun atas kebaikan dan memanfaatkan misi “WAR ON TERROR” yang dikumandangkan Presiden AS George Walter Bush, maka dibentuklah Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror POLRI — yang patut dapat diduga memang dibiayai sepenuhnya pembentukan itu oleh AMERIKA SERIKAT –.
Tidak salah dan samasekali tak perlu dicurigai keikut-sertaan AMERIKA SERIKAT dalam mendukung gerak POLRI menangani aksi terorisme lewat pembentukan Densus 88 Anti Teror POLRI.
Yang publik perlu diingatkan adalah di dalam internal TIM ANTI TEROR POLRI sendiri, pernah terjadi perpecahan antara Tim Satgas Bom POLRI (yang dikuasai dan didominasi kelompok Gories Mere & Surya Darma), dengan Densus 88 Anti Teror POLRI.
Puncak perpecahan itu adalah saat Abu Dujana dan Zarkasih — keduanya petinggi Al Jamaah Al Islamyah — tertangkap pertengahan tahun 2007.
Patut dapat diduga, Brigjen Surya Dharma menjadi api pemicu perpecahan karena dialah yang berbicara kepada anak buahnya didalam Tim Satgas Bom bahwa Densus 88 Anti Teror POLRI terlalu keenakan mendapatkan nama dan pujian dari banyak pihak (terkait penangkapan Abu Dujana dan Zarkasih). Padahal, yang sudah bekerja keras untuk menangkap adalah Tim Satgas Bom POLRI.
Surya Darma lupa bahwa Tim Satgas Bom dibentuk memang bukan untuk dipublikasikan hasil-hasil kerjanya. Tim Satgas Bom hanya khusus untuk semua pergerakan sangat amat rahasia di bawah tanah. Berhasil atau belum berhasil, berhasil atau tidak berhasil, apapun juga yang dilakukan Tim Satgas Bom POLRI tidak boleh diumumkan kepada publik ke atas “permukaan”. Riwayat dari Tim Satgas Bom POLRI ini berakhir dengan diberangusnya tim ekslusif yang “sok eksklusif” ini pada awal tahun 2008 — saat Bambang Hendarso Danuri masih menjabat sebagai Kepala Badan Reserse & Kriminal (Kabareskrim POLRI) BHD yang ketika itu masih menjabat sebagai Kabareskrim — mengusulkan kepada KAPOLRI Jenderal Sutanto agar semua penanganan anti teror disatukan dan diberdayakan hanya dari satu atap yaitu DENSUS 88 ANTI TEROR.
Kelompok Gories Mere yang rata-rata diarahkan oleh “jagoan Flores” ini untuk mendukung geraknya dalam bidang penanganan teror, nyaris tak bisa dikendalikan dan diketahui geraknya.
Tak ada rasa hormat kepada atasan dan kepada rekan sesama polisi di lingkungan MABES POLRI. Tak ada yang bisa menghubungi mereka — kecuali kalau mereka yang menghubungi –.
Hanya Jenderal Sutanto yang secara cerdas bisa merangkul dan mengendalikan Tim Anti Teror Polri ini, dengan gaya yang sangat mumpuni.
Selama 38 bulan Jenderal Sutanto menjabat sebagai Kapolri, ia sengaja memberikan semacam keistimewaan kepada Tim Anti Teror — dari kelompok “sok eksklusif” pimpinan Gories Mere tadi — untuk melapor kapan sana, dimana saja dan dengan cara apa saja.
Awalnya sangat sulit memahami, mengapa Jenderal Sutanto melakukan keistimewaan semacam itu. Lama-kelamaan dapat dipahami latar belakangnya. Bagaimana kelompok “sok eksklusif” ini bisa dikendalikan oleh atasan, bila tidak diambil hatinya dan dijinakkan ?
Terhitung sejak penanganan bom malam Natal yang terjadi serentak di 39 gereja dan 10 kota se-Indonesia, praktis penanganan anti teror hanya dikuasai kelompok “sok eksklusif” pimpinan Gories Mere.
TNI dan BIN dipinggirkan oleh kelompok sok eksklusif ini.
Bahkan, kelompok “sok eksklusif” ini patut dapat diduga pernah ketahuan sengaja melakukan peledakan bom ikan di seputaran Jawa Tengah – Jawa Timur pada periode bulan Agustus 2007 dan menyebarkan FITNAH bahwa TNI adalah pelaku peledakan bom tadi.
Jadi, salah besar jika ada yang ngoceh atau ngember bahwa kemungkinan besar pelaku peledakan bom di Mega Kuningan adalah politisi-politisi tertentu yang kalah dalam Pilpres 2009 !
Tutup mulut bagi siapapun yang tidak mengerti bagaimana sejarah penanganan aksi terorisme dan segala bentuk radikalisme di Indonesia sepanjang kurun waktu 10 tahun terakhir !
Tutup mulut bagi siapapun yang tidak mengetahui bahwa sejak penanganan bom malam Natal tahun 1999, satu-satunya kelompok aparat yang mendominasi sepihak penanganan terorisme adalah kelompok tertentu dalam internal POLRI — yang memang tidak pernah mau dan tidak pernah memberikan kesempatan kepada TNI, BIN dan rekan sesama polisi di lingkungan POLRI — untuk bahu membahu menangani terorisme.
Jangan sembarangan bicara kalau memang tidak paham mengenai rekam jejak penanganan komprehensif terkait aksi terorisme di tanah air ini !
Terorisme adalah terorisme !
Terorisme tak pernah memiliki hubungan sebab akibat dan samasekali tidak pernah “berhadap-hadapan” dengan bidang politik.
Paham jihad yang diterapkan kalangan radikal teroris ini adalah memerangi BARAT — khususnya AMERIKA SERIKAT — dan KAUM KAFIR yang diidentikkan dengan kalangan Nasrani (Kristen).
Paham Jihad yang diterapkan kalangan radikal teroris tak pernah ambil pusing dengan panggung politik PILPRES, apalagi menyoroti siapa yang menang dan siapa yang kalah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu menahan diri saja dulu. Jangan banyak omong dan jangan banyak maju ke garis terdepan.
Patut dapat diduga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seakan kekurangan PANGGUNG untuk tampil dan jual omongan kesana kemari secara tidak fokus.
Mundur, anda tidak perlu maju ke garis terdepan Tuan Presiden SBY !
Mundur, ini aksi terorisme yang menjadi domain tugas POLRI. Biarkan POLRI maju ke garis terdepan untuk segera melakukan olah TKP (Tempat Kejadian Perkara, red).
Sejak bom Mega Kuningan meledak beberapa hari lalu, SBY sudah kebanyakan bicara dan kebanyakan tampil. Semua itu pasti jadi beban tersendiri bagi POLRI. Jangan paksa POLRI untuk membelokkan hasil-hasil temuan di lapangan, agar diselarasakan dengan ucapan Presiden SBY misalnya.
Tidak mungkin, POLISI bisa diatur dan dikendalikan agar mengatakan .. Ya Betul, Pelakunya adalah Politisi A dan B, dari partai politik A dan B.
Melihat semua gerak dan hasil peledakan bom di Mega Kuningan, maka pelakunya adalah pihak yang menguasai betul lokasi peledakan itu. Dan jika disebut bahwa yang melakukan itu memang sangat menguasai lokasi peledakan maka kemungkinannya hanya ada 2.
Kemungkinan pertama pelakunya yaitu orang atau pelaku yang sama dengan aksi peledakan bom di Hotel JW Marriot sebelumnya (tahun 2003) dan aksi-aksi peledakan bom lainnya di Indonesia selama ini.
Noordin M. Top berpeluang besar melakukan semua itu.
Lama tak terdengar kabarnya, Noordin yang sangat ahli dalam hal doktrin untuk merekrut teroris-teroris baru yang seakan mudah sekali “dihipnotis” untuk mau jadi pasukan jihad yang salah arah ini, tentu tak akan menyia-nyiakan kesempatan dimana ia bisa memberikan atraksi babak baru untuk Indonesia.
Kemungkinan yang kedua adalah pihak atau kelompok yang memiliki dokumentasi lengkap selengkap-lengkapnya mengenai gerak dan sepak terjang kelompok teroris yang bercokol di Indonesia selama ini.
Patut dapat diduga, kemungkinan yang kedua ini besar kemungkinan bisa dilakukan oleh kelompok eksklusif GORIES MERE — karena mereka yang menguasai dan mendominasi semua hasil investigasi POLRI dalam masalah terorisme sejak penanganan bom malam natal tahun 1999 –.
Bayangkan, selama lebih dari 8 tahun, di tangan kelompok ekslusif GORIES MERE inilah seluruh dokumentasi, bukti-bukti, saksi-saksi dan hasil lengkap penanganan terorisme di Indonesia — tanpa bisa disentuh atau diketahui oleh pihak lain didalam dan diluar POLRI.
Barangkali Presiden SBY perlu diingatkan tentang satu hal, untuk menyegarkan ingatan kepala negara tentang bagaimana liar dan tidak terkendalinya kelompok “sok eksklusif” Gories Mere ini. Ingatlah kejadian sewaktu Gories Mere dan Brigjen Surya Darma tidak mau melaporkan bahwa tim mereka telah berhasil menangkap Abu Dujana dan Zarkasih pada pertengahan tahun 2007 kepada Pihak Istana Kepresidenan INDONESIA.
Tolong, ingat kembali kejadian tersebut.
Abu Dujana dan Zarkasih ditangkap tanggal 9 Juni 2007. Pihak pertama yang dilaporkan oleh Gories Mere adalah AUSTRALIA. Dalam hitungan jam, Perdana Menteri John Howard dan Menteri Luar Negeri Alexander Downer sudah mengumumkan kepada media massa bahwa mereka sangat menghargai keberhasilan Indonesia menangkap teroris Abu Dujana dan Zarkasih.
Ucapan selamat AUSTRALIA itu membuat INDONESIA terkejut-kejut, teroris mana yang ditangkap ? Tidak ada yang tahu. INDONESIA baru mengetahui ada penangkapan teroris tanggal 13 Juni 2007 — 4 hari setelah Abu Dujana dan Zarkasih ditangkap –.
Ingatlah juga, peristiwa saat kelompok “sok eksklusif” Gories Mere ini mengundang Ali Imron dan Mubaroq — terpidana kasus Bom Bali I — buka puasa bersama di kediaman Brigjen Surya Darma di bulan Ramadhan tahun 2007.
INDONESIA — khususnya MABES POLRI — terkejut-kejut saat membaca dan mendengar berita bagaimana marahnya AUSTRALIA terhadap kelakuan dari BRIGJEN SURYA DARMA mengundang 2 orang terpidana teroris Bom Bali I — yaitu Ali Imron dan Mubaroq — makan bersama.
Perdana Menteri John Howard secara sinis menyebut tindakan Surya Darma dengan istilah ABSOLUTELY DISGUISTING !
Dengan adanya peledakan bom Mega Kuningan beberapa hari yang lalu, hikmah terbesar yang bisa segera dijadikan masukan bagi Mabes Polri adalah jangan pernah lagi membiarkan orang per orang dalam internal POLRI menguasai bidang yang sama secara monoton dan non stop selama bertahun-tahun tanpa bisa dikendalikan dan diberhentikan lagi.
Membiarkan kelompok kecil didalam internal POLRI menguasai sepihak semua peralatan canggih penyadapan dan perangkat teknologi untuk menangani terorisme sesuka hati mereka, akan membuka peluang terhadap kemungkinan terjadinya penyalah-gunaan kekuasaan — ABUSE OF THE POWER –.
Membiarkan kelompok kecil didalam internal POLRI terjun sedalam-dalamnya ke bidang penanganan terorisme ini, hanya akan membuat kelompok ini menjadi kelompok yang patut dapat diduga akan mudah membisniskan keahlian dan kepiawaian mereka.
Jangan main-main, dengan memiliki seperangkat alat bukti terorisme, dokumen rahasia tentang hasil penyidikan terhadap jaringan terorisme maka patut dapat diduga kelompok berpotensi untuk melakukan kudeta, makar dan aksi-aksi peledakan bom yang jauh lebih sadis dari bom ciptaan si teroris itu sendiri.
Sejak tahun 2008, Gories Mere sudah dipinggirkan dari Mabes POLRI yaitu dari struktur kepemimpinan di Bareskrim POLRI. Orang yang selama ini menjadi tangan kanan dan tulang punggung Gories Mere dalam menangani aksi teror yaitu Brigjen Surya Darma juga sudah tersingkir karena pada bulan Februari 2009 lalu yang bersangkutan sudah memasuki masa pensiun.
Terpinggirkannya Gories Mere dari Bareskrim ke Badan Narkotika Nasional (BNN) dan pensiunnya Brigjen Surya Darma, bukan berarti membuat kelompok ini tak bisa berbuat apa-apa.
Tidak ada jaminan bahwa mereka tidak melakukan duplikasi terhadap seluruh dokumen rahasia penanganan terorisme sejak mereka yang mendominasi bidang itu selama lebih dari 8 tahun.
Lalu, kalau sekarang ditanya, siapa pihak yang paling besar kemungkinannya melakukan aksi peledakan bom di Mega Kuningan ?
Mari kita hormati domain tugas KEPOLISIAN INDONESIA atau POLRI !
Biarlah saat ini, POLRI menerjunkan semua anggota terbaiknya untuk turun ke lapangan melakukan pengusutan sampai ke akar-akarnya. Akan sangat sulit bagi POLRI untuk bergerak mengejar pelakunya jika semua media massa terus menerus ingin memberitakan bahwa si A atau si B adalah pelaku peledakan itu.
Mengejar jaringan teroris tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Apalagi, jika ternyata yang dikejar aadalah kelompok eksklusif GORIES MERE — yang patut dapat diduga juga punya peluang untuk melakukan aksi peledakan bom itu berdasarkan order atau pesanan pihak tertentu. Siapa bilang mereka tidak mampu dan tidak mungkin melakukannya ?
Sekali lagi, patut dapat diduga pada bulan Agustus 2007 kelompok sok eksklusif Gories Mere ini pernah melakukan aksi peledakan bom di seputaran Jawa dan menuding bahwa itu adalah perbuatan TNI.
Pada akhir bulan Juli 2007, Gories Mere didampingi Surya Darma pernah mendatangi satu pihak untuk mendengarkan presentasi ilegal mereka terkait penanganan terorisme. Mengapa disebut ilegal ? Sebab presentasi itu samasekali tidak dilaporkan dan bukan perintah resmi MABES POLRI.
Dalam presentasi ilegal itu, Gories Mere secara lancang menuding bahwa TNI adalah pelaku semua peledakan bom di Indonesia. Gories Mere secara lancang menyebutkan nama Perwira Tinggi TNI dengan inisial W dan SS terkait dalam jaringan Al Jamaah Al Islamyah.
Mulut dari Gories Mere ini ibarat keranjang sampah yang tak bisa lagi dikendalikannya.
Bayangkan, disatu pihak ia menuding TNI secara INSTITUSI sebagai dalang seluruh peledakan bom di Indonesia. Tapi di pihak lain, ia mengejek Jenderal Ryamizard Ryacudu (Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat) yang kurang percaya seluruh aksi peledakan bom di Indonesia ini adalah perbuatan Al Jamaah Al Islamyah.
Di satu pihak ia menuding TNI secara kelembagaan sebagai pelaku peledakan bom di Indonesia.
Tapi di pihak lain, ia ngotot bahwa yang melakukan seluruh aksi peledakan bom itu adalah Jamaah Islamyah.
Dan POLRI harus mewaspadai kelompok sok eksklusif ini karena pada presentasi ilegal itu, secara sombong dan kesetanan terucap dari mulut Brigjen Surya Darma kalimat sebagai berikut :
“Di Indonesia ini, yang mampu menangkap teroris itu, cuma SAYA & GORIES MERE, yang lain … mana ada yang bisa. Jadi kalau kami melakukan aksi mogok, liha saja … akan kami “DOAKAN” terjadi peledakan-peledakan bom di Indonesia ini !”.
Apakah pantas, terucap dari mulut seorang aparat penegak hukum, kalimat semacam itu ?
POLRI juga harus benar-benar mewaspadai kelompok “sok eksklusif” pimpinan Gories Mere sebab patut dapat diduga kelompok ini sudah menjadi sebuah kelompok membisniskan keahlian dan kemampuan mereka untuk digunakan oleh pihak manapun yang sanggup membayar mereka dalam misi-misi khusus yang berbahaya.
Patut dapat diduga, kelompok Gories Mere inilah yang membuat situs rekayasa berisi ancaman dari Amrozi cs menjelang dilaksanakannya eksekusi kepada ketiga orang terpidana bom Bali I itu.
Periode September – Oktober 2008 lalu, muncul situs berbau Islam radikal yang isinya seolah-olah memuat wasiat dari Amrozi CS yang ingin membunuh sejumlah pejabat tinggi di Indonesia.
Tahukah anda sekalian, apa yang terjadi ?
Patut dapat diduga situs kampungan yang sangat provokatif itu adalah buatan kelompok eksklusif Gories Mere ini yaitu menugaskan seorang KOMBES kepercayaannya untuk “menghilang selama berbulan-bulan” pergi ke AMERIKA SERIKAT mengamati jalannya kampanye dan PILPRES AS — ketika itu Barack Obama menjadi kandidat terkuat yang ikut dalam Pilpres AS –.
Patut dapat diduga, KOMBES yang menjadi tangan kanan Gories Mere itu membuat situs kampungan sangat provokatif tadi dari Canada.
Patut dapat diduga, kelompok ini memang diminta untuk mengembara mengamati Pilpres di AS oleh pihak yang sangat berkepentingan sekali dengan Pilpres di Indonesia tahun 2009 ini dan pihak yang menyuruh itu jugalah yang memerintahkan agar dibuatkan situs provokatif tadi — seolah-olah ada ancaman pembunuhan –.
Patut dapat diduga ada euforia untuk menikmati situasi jika seolah-olah dirinya teraniaya dan terzolimi. Kasihan sekali, ini seperti sebuah penyakit kejiwaan yang harus segera disembuhkan. Jika saat ini, MABES POLRI mengindikasikan bahwa besar kemungkinan pelaku peledakan bom Mega Kuningan adalah Noordin M. Top, kita semua jangan meragukan hasil temuan MABES POLRI.
Mari, hormati hasil kerja MABES POLRI !
Bukan baru pertama kali ini, MABES POLRI menangani kasus-kasus terorisme. Densus 88 Anti Teror Polri tetap memiliki personil keanggotaan yang sangat kredibel dan punya kemampuan yang sangat tinggi. Buktikan, anda semua adalah personil terbaik yang tidak akan pernah mengecewakan Indonesia.
Masuk diakal, jika disebut Noordin M. Top adalah pelaku peledakan bom Mega Kuningan.
Dua musuh utama yang patut dapat diduga ada didalam otak Noordin M Top adalah POLISI (POLRI) dan AMERIKA.
Melihat perkembangan yang sangat signifikan diAfghanistan bahwa Amerika Serikat menurunkan pasukan terbesar untuk menghajar kelompok TALIBAN, maka sentimen anti AMERIKA muncul kembali dari kelompok radikal ini.
Lalu terhadap POLRI, tentu saja kelompok radikal ini sangat dendam.
Di awal-awal penanganan terorisme di bawah kepemimpinan Gories Mere, Islam di Indonesia menjadi korban yang sangat dirugikan sekali. Cara-cara penanganan terorisme dari Gories Mere memang sangat tidak manusiawi dan ANTI ISLAM.
Indonesia harus mengakui bahwa ada masa-masa kelam yang membuat Islam dan Umat Islam di Indonesia sangat terpuruk akibat stigma yang negatif — sebagai buah dari kebringasan dan kebiadaban manusia bernama Gories Mere dalam menangani terorisme –.
Pondok Pesantren diacak-acak, dihancurkan, ditembaki dan diluluh-lantahkan — termasuk di Poso (Sulawesi Tengah).
Tak bisa dipungkiri bahwa penanganan terorisme ala Gories Mere, sudah tak laku dan tak pantas untuk diterapkan lagi di era kekinian di Indonesia.
Atas nama penanganan terorisme, berulang kali POLRI tersudutkan dan terpojokkan akibat ulah perbuatan kelompok sok eksklusif pimpinan Gories Mere.
Atas nama penanganan terorisme, berulang kali POLRI dituding melakukan pelanggaran HAM.
Ingatlah kejadian saat Gories Mere memerintahkan dilakukannya serangan terhadap kelompok teroris di Gebang Rejo (Poso, Sulteng) pada tanggal 22 Januari 2007. Dari belasan orang yang tewas, hanya 1 orang yang menjadi target pengejaran polisi karena namanya masuk dalam DPO atau Daftar Pencarian Orang — terkait aksi terorisme –.
Sisanya, adalah warga sipil tak bersenjata yang ditembaki secara brutal.
Ingatlah kejadian saat Gories Mere memerintahkan agar anak buahnya menembaki Pondok Pesantren persis di MALAM TAKBIRAN (pada tahun 2006). Aksi brutal ala Gories Mere yang ANTI ISLAM ini membuat situasi di POSO, hancur lebur dan panas membara.
Situasi sangat terguncang hebat dan biasanya kalau sudah separah itu … semua perangkat pemerintahan dari PUSAT, harus turun tangan akibat ulah dari Gories Mere.
Tidak ada yang membanggakan dari perwira tinggi FLORES ini. Bahkan sebenarnya ia sangat pantas untuk ikut diperiksa, apakah patut dapat diduga justru kelompok merekalah yang melakukan aksi peledakan bom di Mega Kuningan.
Jangan ada yang mengatakan tidak mungkin ! Semua kemungkinan itu tetap ada. Rumors yang beredar sejak 2 tahun yang lalu, patut dapat diduga Noordin M Top sengaja “disimpan dan dikunci” langkahnya oleh kelompok Gories Mere.
Patut dapat diduga, hal ihwal Noordin M Top ini hanya akan dijadikan kartu truf jika kelompok ini terdesak ingin mendapatkan kenaikan pangkat atau jabatan yang lebih tinggi.
Jangan ada yang mengatakan bahwa tidak mungkin kelompok Gories Mere yang melakukannya sebab didalam kelompok Gories Mere ini terdapat seseorang yang sangat mereka andalkan yaitu ALI IMRON.
Ali Imron, terpidana kasus Bom Bali I sebenarnya sudah mendapatkan vonis pidana kurungan seumur hidup dari Majelis Hakim yang menanganinya pada tahun 2003. Tapi sejak vonis itu dijatuhkan, ALI IMRON sengaja dipinjam oleh kelompok Gories Mere dan sampai saat ini tidak pernah dikembalikan lagi.
Siapa bilang, Ali Imron tidak berbahaya ?
Bom Bali I yang ledakannya sangat mengerikan itu adalah hasil rakitan atau hasil buatan tangan ALI IMRON. Tidak sulit bagi ALI IMRON untuk membuat bom berskala besar — yang sama parahnya dengan Bom Bali I –.
Sudah bertahun-tahun lamanya, Ali Imron ada dalam kelompok Gories Mere.
Akibat kerasnya kritikan dari Pemimpin Redaksi KATAKAMI Mega Simarmata yang mendesak agar penegakan hukum dilakukan secara tegas — yaitu agar Ali Imron segera menjalani masa hukumannya di penjara — teroris ini pernah mengirimkan sebuah pesan singkat SMS yang bernada ejekan berbau SARA. Teroris yang kotor ini sengaja mengejek dengan mengutip ayat injil. Ia tak senang jika dirinya diminta untuk masuk ke penjara.
Lho, mengapa tak senang ?
Ali Imron adalah terpidana seumur hidup dan statusnya memang benar terpidana.
Terorisme adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang tak akan pernah mati tetapi harus dimatikan gerak langkahnya oleh aparat keamanan di negara manapun juga.
Siapapun yang terlibat dalam peledakan bom Mega Kuningan, biarlah itu ditemukan oleh MABES POLRI. Tak perlu ada fitnah kepada kalangan politisi dan sengaja dikait-kaitkan dengan hasil Pilpres.
Sudahlah, tutup mulut saja bagi pihak manapun yang tidak mengerti bagaimana rumitnya penanganan terhadap mata rantai terorisme.
Jangan banyak bacot deh, bagi siapapun juga sepanjang POLRI sedang menangani aksi peledakam bom ini. POLRI, harus fokus dan sangat profesional mengusut kasus peledakan bom ini. Temukan siapa pelakunya. Tidak perlu terburu-buru karena pengejaran terhadap jaringan terorisme memerlukan konsentrasi dan kemampuan yang sangat tinggi.
Apakah itu memang perbuatan Noordin M Top atau Noordin M Top kelas abal-abalan alias palsu, sekali lagi, serahkan saja kepada MABES POLRI. Bila tiba saatnya, pasti itu akan diumumkan secara terbuka dan transparan.
Ini kasus terorisme pertama yang ditangani Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
Sepanjang Jenderal Sutanto menjadi Kapolri selama 38 bulan, kelompok Gories Mere tak pernah mau menghormati dan melapor kepada Bambang Hendarso Danuri — yang kala itu menjadi Kabareskrim –. Semua laporan disampaikan langsung kepada Jenderal Sutanto. Itu bukan salah BHD sebab kepongahan dan kelancangan untuk langsung melapor kepada Kapolri — dengan cara melangkahi atasan langsung yaitu KABARESKRIM — adalah sifat utama yang sangat negatif dari kelompok Gories Mere.
Dan bila sekarang, Kapolri Bambang Hendarso Danuri mendapatkan kasus terorisme seperti ini maka sudah sepantasnya ia membuktikan bahwa kepemimpinannya saat ini akan bisa mengimbangi dan menyamai prestasi masa kepemimpinan Jenderal Sutanto sebagai Kapolri.
Berikan rakyat Indonesia bukti, bukan janji. Sebab, diawal BHD diangkat menjadi Kapolri, ia sudah berjanji untuk meneruskan program dan prestasi yang sudah diraih oleh Jenderal Sutanto. BHD jangan lupa, salah satu prestasi masa kepemimpinan Jenderal Sutanto adalah penanganan yang signifikan terhadap bidang keamanan nasional — tidak cuma terorisme semata, tetapi keamanan nasional diseluruh tanah air –.
Penanganan terorisme tidak melulu penuh prestasi semasa Jenderal Sutanto, karena sering kali kelompok Gories Mere justru menimbulkan guncangan pada stabilitas nasional. Tetapi, guncangan-guncangan itu tetap dapat diatasi oleh kepemimpinan Jenderal Sutanto.
Indonesia, dan dunia internasional, menunggu hasil kerja POLRI dalam penanganan bom Mega Kuningan.
Sekali lagi kepada Jenderal BHD, berikan kami bukti, bukan janji.
http://katakamidotcom.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar